Berita

Selasa, 20 Mei 2014

Definisi pph ,subyek dan obyek pph




Pengertian pajak penghasilan sesuai dengan pasal 1 Undang Undang pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun pajak
Oleh karena itu Pajak Penghasilan melekat pada subyeknya Pajak Penghasilan termasuk jenis pajak subyektif. Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima atau memperoleh penghasilan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut sebagai Wajib Pajak
Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak. Tahun pajak, menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah tahun takwim yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember, namun Wajib Pajak dapat menggunakan tahun pajak mengikuti tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan
Bagian tahun pajak adalah jangka waktu (hari/bulan) yang kurang dari 12 (dua belas) bulan saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan
Apabila tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim karena mengikuti tahun buku, tahun pajak ditentukan berdasarkan tahun yang memperoleh masa 6 bulan pertama kali. Misalnya PT A memilih tahun pajak sesuai dengan tahun bukunya yang dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir pada tanggal 31 Maret. Dalam hal ini untuk periode 1 April 2008 sampai dengan 31 Maret 2009 tahun pajak PT A termasuk dalam pajak 2008. Ini disebabkan pada tahun 2008, tahun buku meliputi lebih dari 6 bulan yaitu 9 bulan
Dasar Hukum
Landasan hukum Pajak Penghasilan di Indonesia adalah Undang-Undang ditambah peratutan-peraturan yang mendukung di bawahnya, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah (PP)
2. Keputusan Menteri Keuangan (KMK)/ Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
3. Keputusan Dirjen Pajak (Kep)/ Peraturan Dirjen Pajak
4. Surat Edaran Dirjen Pajak (SE)
Undang-Undang yang mengatur pajak Penghasilan di Indonesia adalah undang-undang No 7 Tahun 1983. Undang-undang tersebut telah beberapa kali diubah, yaitu dengan Undang-undang No 7 Tahun 1991, kemudian Undang-undang No 10 tahun 1994, dan yang terakhir dengan Undang-undang No 17 Tahun 2000 berlaku efektif mulai 1 Januari 2001. Pada saat ini sedang disusun revisi UU PPh terbaru yang diperkirakan akan diberlakukan efektif pada tahun 2009
Subyek Pajak
Jenis Subyek Pajak
Yang menjadi Subyek Pajak, menurut Pasal 2 ayat 1 UU Pajak Penghasilan adalah:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi
2. Badan
3. Bantuk Usaha Tetap (BUT)
Orang pribadi sebagai subyek pajak dapat bertempat tinggal atau beaad di Indonesia ataupun di luar Indonesia
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subyek pajak pengganti, menggantikan yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukkan warisan yang belum terbagi sebagai subyek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan
Menurut Pasal 1 UU No.17 tahun 2000, yang dimaksud dengan Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha, meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN dan BUMD. Dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dan apensiun, persekutuan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga bentuk usaha tetap dan bentuk usaha lainnya termasuk reksadana
Subyek pajak menurut Pasal 2 ayat 2 (2) UU No.17 Tahun 2000, dibedakan antara subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri. Subyek pajak dalam negeri menjadi wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan. Sedangkan subyek pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau dipeoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Jadi Wajib Pajak adalah orang Pribadi atau Badan yang telah memenuhi kewajiban subyektif dan obyektif
Subyek pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
  1. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
  2. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
    1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
    3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
    4. apembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
  3. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
Bukan subyek pajak
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 200 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut:
  1. Badan perwakilan negara asing.
  2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
  3. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
  4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Obyek pajak
Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.


3.2 Penghasilan kena pajak
Penghasilan kena pajak adalah penghasilan Wajib Pajak yang menjadi dasar untuk menghitung pajak penghasilan. Pendapatan kena pajak diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Penghasilan kena pajak didapat dengan menghitung penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Apabila dalam menghitung penghasilan kena pajak, penghasilan bruto setelah dikurangkan dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan didapat kerugian maka kerugian tersebut dikompensasikan mulai dengan penghasilan tahun pajak berikutnya sampai dengan berturut-turut lima tahun.
Untuk Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi, dalam menghitung penghasilan kena pajak diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak.

3.3 Tarif PPh Orang Pribadi
Sampai dengan tahun pajak 2008, tarif PPh Orang Pribadi adalah sebagai berikut :
  1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 25 Juta kena tarif 5%
  2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 25 Juta s.d. Rp 50 Juta kena tarif 10%
  3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 100 Juta kena tarif 15%
  4. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 100 Juta s.d. Rp 200 Juta kena tarif 25%
  5. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 200 Juta kena tarif 35%

Mulai tahun 2009, struktur tarifnya adalah sebagai berikut :
  1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 50 Juta kena tarif 5%
  2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 250 Juta kena tarif 15%
  3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 250 Juta s.d. Rp 500 Juta kena tarif 25%
  4. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 500 Juta kena tarif 30%

Dari struktur tarif di atas terlihat bahwa perubahannya terletak pada pengurangan lapisan kena pajak, penurunan tarif tertinggi, dan perubahan rentang lapisan kena pajak. Sistem pentarifannya masih merupakan tarif proporsional. Namun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa perubahan tarif pada Wajib Pajak Orang Pribadi ini bersifat menurunkan tarif pajak. Hal ini berarti bisa kita baca sebagai keuntungan bagi masyarakat Wajib Pajak dan adanya potensi penurunan penerimaan pajak bagi negara.
  Tarif PPh Badan
Sampai dengan tahun pajak 2008, tarif Pajak Penghasilan Badan menganut tarif proporsional dengan struktur sebagai berikut :
  1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 50 Juta kena tarif 10%
  2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 100 Juta kena tarif 15%
  3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 100 Juta kena tarif 30%
Mulai tahun pajak 2009, tarif PPh Badan menganut sistem tarif tunggal atau single tax yaitu 28% dan akan menjadi 25% pada tahun 2010. Jadi berapapun penghasilan kena pajaknya, tarif yang dikenakan adalah satu yaitu 28% atau 25%. Khusus untuk perusahaan terbuka yang memenuhi syarat tertentu, tarif PPh Badan nya adalah 5% lebih rendah dari tarif umum.
Secara umum, perubahan tarif PPh Badan ini menguntungkan bagi perusahaan-perushaan besar yang biasanya kena tarif lapisan tertinggi 30%. Namun bagi perusahaan-perusahaan kecil, yang biasanya kena tarif dengan lapisan kena pajak rendah tentu saja akan merugikan karena akan mengalami kenaikan tarif. Namun demikian, ada ketentuan baru dalam Pasal 31E yang memberikan fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum untuk Wajib Pajak badan yang omzetnya tidak lebih dari Rp50 Milyar yang dikenakan terhadap penghasilan kena pajak dari bagian omzet sampai dengan Rp4,8 Milyar.


3.4 Pengertian dan Konsep Dasar pph Potongan / Pungutan


PPH PASAL 21PPh Pasal 21
adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah honorarium, tunjangan,dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan denganpekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 Undang-undang Pajak Penghasilan.2.

PPH PASAL 22PPh Pasal 22
merupakan pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan yangdipungut oleh bendahara pemerintah, badan-badan tertentu, baik badan pemerintahmaupun swasta, dan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeliatas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.3.

PPH PASAL 23PPh Pasal 23
mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima ataudiperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal,penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal21, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempopembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri,penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

PPH PASAL 24 PPh Pasal 24
 mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yangdibayar atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilanyang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.5.

PPH PASAL 26 PPh Pasal 26
mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber diIndonesia yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri (baik orang pribadi maupunbadan) selain Bentuk Usaha Tetap.6.

PPH PASAL 4 AYAT 2 PPh pasal 4 ayat 2
 mengatur tentang pajak penghasilan atas bunga, sewa dan imbalan jasa konsultan dan jasa konstruksi yang diatur dengan perturan pemerintah


3.5 Dasar hukum PPh potongan/pungutan
1.      Undang-undang no. 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas undang-undang no.7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan.
2.      Keputusan dirjen pajak no.KEP-161/PJ/2001 tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan kegiatan usaha, tata cara pendaftaran dan penghapusan NPWP, serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan kena pajak.

3.6 Dasar Hukum Tata cara perhitungan PPh

Menurut pasal 21/26
PPh pasal 21 adalah pasal yang mengatur pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima dari pekerjaan / jasa baik dalam hubungan kerja maupun dari pekerjaan bebas oleh WP perorangan dalam negeri.
Subjek pajak PPh pasal 21 adalah :
1.     Pegawai
2.    Penerima pensiun
3.    Penerima honorarium
4.    Penerima upah
5.    Orang pribadi lainnya yang menerima / memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari pemotong pajak.
Pengecualian subjek pajak :
1.     Pejabat perwakilan diplomatik beserta staf
2.    Pejabat perwakilan organisasi internasional beserta staf.
Pengecualian objek pajak PPh pasal 21 :

1.     Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa
2.    Penerimaan dalam bentuk natura dan atau keenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh WP atau pemerintah
3.    Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendirian telah disyahkan oleh menkeu atau iuran THT kepada badan penyelenggra jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja
4.    Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

Tata cara perhitungan PPh pasal 22/26

PPh pasal 22 membahas tentang penghasilan yang berasal dari penjualan pada instansi pemerintah, impor, dan industri tertentu (industri rokok, industri kertas, industri otomotif, industri semen, industri baja, Pertamina Bulog untuk tepung terigu dan gula pasir).
Tarif PPh pasal 22 atas penjualan instansi pemerintah :
PPh pasal 22 bendaharawan = 1,5% x nilai penjualan
Tarif PPh pasal 22 atas impor :
1.     Bila importir memiliki API (Angka Pengenal Impor)
PPh pasal 22 impor = 2,5% x nilai impor
2.    Bila importir tidak memiliki API
PPh pasal 22 impor = 7,5% x nilai impor

Tata cara perhitungan PPh pasal 23/26

PPh pasal 23 membahas tentang penghasilan yang diperoleh dari penggunaan harta atau modal (deviden, bunga, royalti, hadiah penghargaan, sewa, dan jasa).
1.     Deviden, royalti, bunga, hadiah penghargaan
PPh pasal 23 = 15% x penghasilan bruto
2.    Sewa dan jasa
PPh pasal 23 = 2% x penghasilan bruto

Tata cara perhitungan PPh pasal 24/26


PPh pasal 24 membahas tentang penghasilan yang berasal dari luar negeri. Pada prinsinya dalam PPh pasal 24 adalah mencari besarnya pajak yang bisa dikreditkan dengan jalan membandingkan antara pajak yang dipungut di luar negeri dengan batas maksimum kredit pajak dipilih yang terkecil.

Batas maksimum kredit pajak = penghasilan dari luar negeri/ PKP x PPh terutang


Tata cara perhitungan PPh final pasal 4 ayat 2

  1. Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
  2. Penerima hadiah undian;
  3. Penjual saham dan sekuritas lainnya; dan
  4. Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan;
Lain-Lain
1.      Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final;
2.      Karena bersifat final, maka pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dapat dikreditkan;
3.      Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) tidak dimasukkan dalam omset usaha, namun dimasukkan dalam omset penghasilan yang telah dipotong PPh Final
3.7 Variable-variable dalam penghitungan PPH potongan atau pungutan termasuk PTKP
Wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.50.000.000.000 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 1 huruf b dan ayat 2a yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000.
Perhitungan PPH terutang berdasarkan pasal 31E dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a.   Jika peredaran bruto sampai dengan RP. 4.800.000.00, maka penghitungan PPh terutang yaitu sebagai berikut
 PPH terutang =50% X 28% X seluruh pehasilan kena pajak
                B. jika peredaran bruto lebih dari Rp. 4.800.000.000 sampai dengan Rp. 50.000.000.000, perhitungan PPH terutang yaitu sebgai berikut :
PPH terutang= (50% X 28% ) X penghasilan kena pajak dari peredaran bruto yang memperoleh fasilitas + 28% X penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas.
3.8 Tata Cara Penyetoran, Perhitungan dan Pelaporan pph
 1. Tatacara Penyetoran PPh Pasal 23

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak.

2. Tatacara Pelaporan PPh Pasal 23

Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya.
Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 Nopember 2010.
Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.





 

1 komentar: