Berita

Selasa, 20 Mei 2014

TEORI PEMUNGUTAN PAJAK




1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang, semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu:
· Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
· Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dapat negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akam menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan
Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
  1. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
  2. Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang miskin justru dibebaskan dari beban pajak

Yurisdiksi Pengenaan Pajak


            Dasar hukum pengenaan pajak di Indonesia adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi, “Segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang.” Setelah amandemen UUD 1945, ketentuan tentang pajak ada di Pasal 23A, yang berbunyi "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang." Ketentuan ini sesuai dengan suatu dalil yang berkembang di Inggris yaitu No Taxation without representation. Semua jenis pungutan yang membebani rakyat harus didasarkan pada undang-undang. Khusus untuk Pajak Penghasilan, yang berlaku saat ini, Indonesia memiliki Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh 1984).

Berdasarkan Pasal 2 UU PPh 1984, Indonesia membangun yurisdiksi pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan objektif. Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 yang mengatur subjek pajak dalam negeri, berbunyi, “Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.” Menurut ketentuan ini, orang pribadi dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi salah satu syarat berikut: tempat tinggal atau domisili, keberadaan, atau niat bertempat tinggal di Indonesia. Ketiga syarat ini merupakan cara pengujian, dimanakah seseorang berdomisili.

Sedangkan untuk subjek pajak badan, ketentuan tentang domisili diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh 1984. Suatu badan dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika memenuhi syarat sebagai berikut: badan tersebut didirikan di Indonesia, atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Kepastian domisili ini sangat penting karena berkaitan dengan hak pemajakan berdasarkan asas domisili. Asas domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan lebih berhak mengenakan pajak atas hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang berasal dari sumber di mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada di dalam negeri maupun di luar negeri.

Selain asas domilisi, terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh 1984 dan diterima secara global, yaitu asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan kepada dua unsur, yaitu: menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.

Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan pajak). Siapapun, orang pribadi atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari usaha (active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat dikenakan Pajak Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4) UU PPh 1984.

STELSEL PAJAK
Pajak merupakan suatu sistem yang diatur dalam undang-undang, untuk itu tata cara pemungutanya juga diatur dalam undag-undang. Salah satu tata cara pajak adalah stelsel Stelsel merupakan suatu cara untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak. Adapun setelsel pajak dibagi menjadi 3, yaitu :
1. Stelsel nyata ( real stelsel)
Dalam setelsel nyata pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sebenarnya dari waijb pajak. Pemungutan pajak dengan sistem ini dilakukan pada akhir tahun pajak setelah penghasilan sesungguhnya dari wajib pajak diketahui. Stelsel nyata memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari stelsel ini pajak yang dikenakan realistis, sesuai dengan yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak. Sedangkan kelemahan dari stelsel ini pajak baru dapat dibayarkan pada akhir tahun pajak.
2. Stelsel anggapan ( fictive stelsel)
Dalam stelsel ini besarrnya pajak yang harus ditetapkan didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Penghasilan dalam satu tahun dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Stelsel ini juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari sistem ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kekurangan dari sistem ini terkadang besarnya pajak yang dibayar tidak sesuai dengan besarnya pajak yang seharusnya dibayarkan.
3. Stelsel Campuran
Setelsel ini dapat dikatakan sebagi stelsel yang lebih ideal daripada stelsel nyata dan stelsel anggapan. Stelsel ini mengkombinasikan kelebihan-kelebihan dari stelsel nyata dan stelsel anggapan. Dalam stelsel ini, besarnya pajak dihitung sesuai anggapan seperti pada stelsel anggapan, besarnya penghasilan dalam tahun berjalan dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pajak dapat dibayarkan pada awal tahun pajak. Akan tetapi pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan kenyataan yang harus dibayarkan. Apabila ternyata pajak yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus menambahnya, dan apabila yang dibayarkan berlebih maka wajib pajak berhak untuk mengambil kelebihan tersebut.
Dari pembahasan di atas, tampak bahwa pajak merupakan instrument kebijakan fiskal yang paling diandalkan. Hal ini karena pajak bersifat lebih longgar dan fleksibel sehingga dapat ditetapkan oleh pemerintah untuk memenuhi target-target pembangunan ekonomi suatu negara.

Penggolongan Dan Jenis Pajak

Seperti sebelumnya saya akan membahas tentang materi pajak yang ada di perkuliahan. Sebelum itu mahasiswa harus mampu memahami tentang :
  1. Pajak Langsung Dan Pajak Tidak Langsung
  2. Pajak Pusat Dan Daerah
  3. Pajak Subyektif Dan Obyektif

1. Pajak Langsung Dan Pajak Tidak Langsung

Pajak Langsung adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak setelah terbitnya surat pemberitahuan/SPT pajak atau kohir yang dikenakan secara berulang-ulang kali dalam jangka waktu tertentu. Contoh pajak langsung : pajak penghasilan (PPh), pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak penerangan jalan, pajak kendaraan bermotor, dan lain sebagainya.
Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang dikenakan kepada wajib pajak pada waktu tertentu/ terjadi suatu peristiwa kena pajak seperti pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), dan lain-lain.

2. Pajak Pusat Dan Daerah

Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dilakukan oleh direktorat jendral pajak guna membiayai rumah tangga pemerintahan pusat dan tercantum didalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Besaran pajak pusat ditetapkan melalui undang-undang dan PP/perpu.
jenis-jenis pajak pusat :
  1. Pajak Penghasilan (PPh)
  2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM)
  4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
  5. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
  6. Bea Materei
Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah/Dispenda yang digunaka untuk membiayai rumah tangga pemerintah daerah dan tercantum dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Besaran dan bentuk dan bentuk pajak daerah ditetapkan melalui peraturan daerah/Perda.
  1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
  2. Pajak Hotel dan Restauran
  3. Pajak Hiburan dan Tontonan
  4. Pajak Reklame
  5. Pajak Penerangan Jalan
  6. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)

3. Pajak Subyektif Dan Obyektif

Pajak Subyektif adalah pajak yang pengenaanya pertama-tama memperhatikan pribadi wajib pajak (subjek), kemudian menetapkan objek pajaknya. keaadan pribadi wajib pajaknya (gaya pikul) sangat mempengaruhi jumlah pajak yang terutang. Contohnya: PPh

pajak subyektif juga dibagi atas subyek pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri :
Subyek Pajak Dalam Negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
Subyek Pajak Luar Negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Pajak Obyektif adalah pajak yang pengenaanya pertama-tama memperhatikan kepada objeknya, yaitu berupa benda, keadaan, perbuatan, peristiwa yang menyebabkan utang pajak, kemudian ditetapkan subyeknya tanpa mempersoalkan apakah subyek tersebut bertempat tinggal di Indonesia atau tidak. Contohnya: PPN, PPnBM, PBB.

 

SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK


Pada dasarnya terdapat 3 ( tiga ) cara / system yang dipergunakan untuk menentukan siapa yang menghitung dan menetapkan jumlah pajak yang terutang oleh seseorang, yaitu :

1.     Official Assesment System
Official Assesment System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiskus. Dalam system ini utang pajak timbul bila telah ada ketetapan pajak dari fiskus ( sesuai dengan ajaran formil tentang timbulnya utang pajak ). Jadi dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif.

2.     Self Assesment System
Self Assesment System yaitu system pemungutan pajak dimana wewenang menghitung besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak diserahkan oleh fiskus kepada wajib pajak yang bersangkutan, sehingga dengan sisten ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak ( KPP ), sedangkan fiskus bertugas memberikan penerangan dan pengawasan.




3.     With Holding System
With Holding System yaitu system pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang terutang dihitung oleh pihak ketiga ( yang bukan wajib pajak dan juga bukan aparat pajak / fiskus ).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar