Pengertian
pajak penghasilan sesuai dengan pasal 1 Undang Undang pajak Penghasilan adalah
pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam
tahun pajak
Oleh
karena itu Pajak Penghasilan melekat pada subyeknya Pajak Penghasilan termasuk
jenis pajak subyektif. Subyek pajak akan dikenai pajak apabila dia menerima
atau memperoleh penghasilan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, subyek
pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut sebagai Wajib Pajak
Wajib
Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu
tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian
tahun pajak. Tahun pajak, menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah tahun
takwim yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31
Desember, namun Wajib Pajak dapat menggunakan tahun pajak mengikuti tahun buku
yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi
jangka waktu 12 (dua belas) bulan
Bagian
tahun pajak adalah jangka waktu (hari/bulan) yang kurang dari 12 (dua belas)
bulan saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan
Apabila
tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim karena mengikuti tahun buku, tahun
pajak ditentukan berdasarkan tahun yang memperoleh masa 6 bulan pertama kali.
Misalnya PT A memilih tahun pajak sesuai dengan tahun bukunya yang dimulai pada
tanggal 1 April dan berakhir pada tanggal 31 Maret. Dalam hal ini untuk periode
1 April 2008 sampai dengan 31 Maret 2009 tahun pajak PT A termasuk dalam pajak
2008. Ini disebabkan pada tahun 2008, tahun buku meliputi lebih dari 6 bulan
yaitu 9 bulan
Dasar
Hukum
Landasan
hukum Pajak Penghasilan di Indonesia adalah Undang-Undang ditambah
peratutan-peraturan yang mendukung di bawahnya, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah (PP)
2. Keputusan Menteri Keuangan (KMK)/ Peraturan Menteri
Keuangan (PMK)
3. Keputusan Dirjen Pajak (Kep)/ Peraturan Dirjen Pajak
4. Surat Edaran Dirjen Pajak (SE)
Undang-Undang
yang mengatur pajak Penghasilan di Indonesia adalah undang-undang No 7 Tahun
1983. Undang-undang tersebut telah beberapa kali diubah, yaitu dengan
Undang-undang No 7 Tahun 1991, kemudian Undang-undang No 10 tahun 1994, dan
yang terakhir dengan Undang-undang No 17 Tahun 2000 berlaku efektif mulai 1
Januari 2001. Pada saat ini sedang disusun revisi UU PPh terbaru yang
diperkirakan akan diberlakukan efektif pada tahun 2009
Subyek
Pajak
Jenis
Subyek Pajak
Yang
menjadi Subyek Pajak, menurut Pasal 2 ayat 1 UU Pajak Penghasilan adalah:
1.
Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi
2.
Badan
3.
Bantuk Usaha Tetap (BUT)
Orang
pribadi sebagai subyek pajak dapat bertempat tinggal atau beaad di Indonesia
ataupun di luar Indonesia
Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subyek pajak pengganti,
menggantikan yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukkan warisan yang belum
terbagi sebagai subyek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas
penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan
Menurut
Pasal 1 UU No.17 tahun 2000, yang dimaksud dengan Badan adalah sekumpulan orang
atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak
melakukan usaha, meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, BUMN dan BUMD. Dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dan apensiun, persekutuan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga bentuk usaha tetap dan
bentuk usaha lainnya termasuk reksadana
Subyek
pajak menurut Pasal 2 ayat 2 (2) UU No.17 Tahun 2000, dibedakan antara subyek
pajak dalam negeri dan subyek pajak luar negeri. Subyek pajak dalam negeri
menjadi wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan.
Sedangkan subyek pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak sehubungan
dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau
dipeoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Jadi Wajib Pajak adalah orang
Pribadi atau Badan yang telah memenuhi kewajiban subyektif dan obyektif
Subyek
pajak
Subyek
pajak pribadi yaitu orang pribadi
yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
- Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
- Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
- pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
- penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
- apembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
- Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
Bukan
subyek pajak
Undang-Undang Nomor
17 Tahun 200 menjelaskan tentang
apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut:
- Badan perwakilan negara asing.
- Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
- Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
- Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Obyek
pajak
Objek pajak penghasilan
yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan
Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang
luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib
pajak darimanapun asalnya yang dapat
dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam
Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu,
tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai
kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan
pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan
dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan
Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut
pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima
atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar
pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian
tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi
Horisontal), kecuali kerugian
yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan
dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek
Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan
lain yang dikenakan tarif umum.
Penghasilan
kena pajak adalah penghasilan Wajib Pajak yang menjadi dasar untuk menghitung pajak penghasilan. Pendapatan kena pajak diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
Penghasilan kena pajak didapat dengan
menghitung penghasilan bruto dikurangi
dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Apabila
dalam menghitung penghasilan kena pajak, penghasilan bruto setelah dikurangkan
dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan didapat
kerugian maka kerugian tersebut dikompensasikan mulai dengan penghasilan tahun
pajak berikutnya sampai dengan berturut-turut lima tahun.Untuk Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi, dalam menghitung penghasilan kena pajak diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak.
3.3 Tarif PPh Orang
Pribadi
Sampai dengan tahun pajak 2008, tarif
PPh Orang Pribadi adalah sebagai berikut :
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 25 Juta kena tarif 5%
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 25 Juta s.d. Rp 50 Juta kena tarif 10%
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 100 Juta kena tarif 15%
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 100 Juta s.d. Rp 200 Juta kena tarif 25%
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 200 Juta kena tarif 35%
Mulai tahun 2009, struktur tarifnya
adalah sebagai berikut :
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 50 Juta kena tarif 5%
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 250 Juta kena tarif 15%
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 250 Juta s.d. Rp 500 Juta kena tarif 25%
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 500 Juta kena tarif 30%
Dari struktur tarif di atas terlihat
bahwa perubahannya terletak pada pengurangan lapisan kena pajak, penurunan
tarif tertinggi, dan perubahan rentang lapisan kena pajak. Sistem pentarifannya
masih merupakan tarif proporsional. Namun demikian, secara umum bisa dikatakan
bahwa perubahan tarif pada Wajib Pajak Orang Pribadi ini bersifat menurunkan
tarif pajak. Hal ini berarti bisa kita baca sebagai keuntungan bagi masyarakat
Wajib Pajak dan adanya potensi penurunan penerimaan pajak bagi negara.
Tarif PPh Badan
Sampai dengan tahun pajak 2008, tarif
Pajak Penghasilan Badan menganut tarif proporsional dengan struktur sebagai
berikut :
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak s.d. Rp 50 Juta kena tarif 10%
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak Rp 50 Juta s.d. Rp 100 Juta kena tarif 15%
- Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 100 Juta kena tarif 30%
Mulai tahun pajak 2009, tarif PPh Badan
menganut sistem tarif tunggal atau single tax yaitu 28% dan akan menjadi
25% pada tahun 2010. Jadi berapapun penghasilan kena pajaknya, tarif yang
dikenakan adalah satu yaitu 28% atau 25%. Khusus untuk perusahaan terbuka yang
memenuhi syarat tertentu, tarif PPh Badan nya adalah 5% lebih rendah dari tarif
umum.
Secara umum, perubahan tarif PPh Badan
ini menguntungkan bagi perusahaan-perushaan besar yang biasanya kena tarif
lapisan tertinggi 30%. Namun bagi perusahaan-perusahaan kecil, yang biasanya
kena tarif dengan lapisan kena pajak rendah tentu saja akan merugikan karena
akan mengalami kenaikan tarif. Namun demikian, ada ketentuan baru dalam Pasal
31E yang memberikan fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif umum
untuk Wajib Pajak badan yang omzetnya tidak lebih dari Rp50 Milyar yang dikenakan
terhadap penghasilan kena pajak dari bagian omzet sampai dengan Rp4,8 Milyar.
3.4
Pengertian dan Konsep Dasar pph Potongan / Pungutan
PPH PASAL 21PPh Pasal 21
adalah pajak atas penghasilan berupa
gaji, upah honorarium, tunjangan,dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan denganpekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.
Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
Undang-undang Pajak Penghasilan.2.
PPH PASAL 22PPh Pasal 22
merupakan pembayaran pajak penghasilan
dalam tahun berjalan yangdipungut oleh bendahara pemerintah, badan-badan
tertentu, baik badan pemerintahmaupun swasta, dan Wajib Pajak badan tertentu
untuk memungut pajak dari pembeliatas penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.3.
PPH PASAL 23PPh Pasal 23
mengatur pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima ataudiperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap yang berasal dari modal,penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal21, yang dibayarkan, disediakan
untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempopembayarannya oleh badan pemerintah,
subjek pajak badan dalam negeri,penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
PPH PASAL 24 PPh Pasal 24
mengatur tentang perhitungan besarnya pajak
atas penghasilan yangdibayar atau terutang di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak penghasilanyang terutang atas seluruh penghasilan
Wajib Pajak dalam negeri.5.
PPH PASAL 26 PPh Pasal 26
mengatur tentang pemotongan atas
penghasilan yang bersumber diIndonesia yang diterima oleh Wajib Pajak luar
negeri (baik orang pribadi maupunbadan)
selain Bentuk Usaha Tetap.6.
PPH PASAL 4 AYAT
2 PPh pasal 4 ayat 2
mengatur tentang pajak penghasilan atas bunga,
sewa dan imbalan jasa konsultan
dan jasa konstruksi yang diatur dengan perturan pemerintah
3.5 Dasar hukum PPh potongan/pungutan
1.
Undang-undang
no. 17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas undang-undang no.7 tahun 1983
tentang pajak penghasilan.
2.
Keputusan
dirjen pajak no.KEP-161/PJ/2001 tentang jangka waktu pendaftaran dan pelaporan
kegiatan usaha, tata cara pendaftaran dan penghapusan NPWP, serta pengukuhan
dan pencabutan pengukuhan kena pajak.
3.6
Dasar Hukum Tata cara perhitungan PPh
Menurut pasal 21/26
PPh
pasal 21 adalah pasal yang mengatur pajak yang dikenakan terhadap penghasilan
yang diterima dari pekerjaan / jasa baik dalam hubungan kerja maupun dari
pekerjaan bebas oleh WP perorangan dalam negeri.
Subjek pajak PPh pasal 21 adalah :
1. Pegawai
2. Penerima pensiun
3. Penerima honorarium
4. Penerima upah
5. Orang pribadi lainnya yang menerima
/ memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari
pemotong pajak.
Pengecualian subjek pajak :
1. Pejabat perwakilan diplomatik
beserta staf
2. Pejabat perwakilan organisasi
internasional beserta staf.
Pengecualian objek pajak PPh pasal
21 :
1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,
kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan atau keenikmatan dalam
bentuk apapun yang diberikan oleh WP atau pemerintah
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang
pendirian telah disyahkan oleh menkeu atau iuran THT kepada badan penyelenggra
jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari
badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Tata cara perhitungan PPh pasal
22/26
PPh
pasal 22 membahas tentang penghasilan yang berasal dari penjualan pada instansi
pemerintah, impor, dan industri tertentu (industri rokok, industri kertas,
industri otomotif, industri semen, industri baja, Pertamina Bulog untuk tepung
terigu dan gula pasir).
Tarif PPh pasal 22 atas penjualan
instansi pemerintah :
PPh
pasal 22 bendaharawan = 1,5% x nilai penjualan
Tarif PPh pasal 22 atas impor :
1. Bila importir memiliki API (Angka
Pengenal Impor)
PPh pasal 22 impor = 2,5% x nilai
impor
2. Bila importir tidak memiliki API
PPh pasal 22 impor = 7,5% x nilai
impor
Tata cara perhitungan PPh pasal
23/26
PPh pasal 23 membahas tentang
penghasilan yang diperoleh dari penggunaan harta atau modal (deviden, bunga,
royalti, hadiah penghargaan, sewa, dan jasa).
1. Deviden, royalti, bunga, hadiah
penghargaan
PPh pasal 23 = 15% x penghasilan
bruto
2. Sewa dan jasa
PPh pasal 23 = 2% x penghasilan
bruto
Tata cara perhitungan PPh pasal
24/26
PPh
pasal 24 membahas tentang penghasilan yang berasal dari luar negeri. Pada
prinsinya dalam PPh pasal 24 adalah mencari besarnya pajak yang bisa
dikreditkan dengan jalan membandingkan antara pajak yang dipungut di luar
negeri dengan batas maksimum kredit pajak dipilih yang terkecil.
Batas maksimum kredit pajak =
penghasilan dari luar negeri/ PKP x PPh terutang
Tata cara perhitungan PPh final
pasal 4 ayat 2
- Penerima bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
- Penerima hadiah undian;
- Penjual saham dan sekuritas lainnya; dan
- Pemilik properti berupa tanah dan/atau bangunan;
Lain-Lain
1.
Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah bersifat final;
2.
Karena bersifat final, maka pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2)
tidak dapat dikreditkan;
3.
Omset terkait transaksi yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2)
tidak dimasukkan dalam omset usaha, namun dimasukkan dalam omset penghasilan
yang telah dipotong PPh Final
3.7 Variable-variable dalam
penghitungan PPH potongan atau pungutan termasuk PTKP
Wajib pajak
badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp.50.000.000.000
mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana
dimaksud dalam pasal 17 ayat 1 huruf b dan ayat 2a yang dikenakan atas
penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp.
4.800.000.000.
Perhitungan
PPH terutang berdasarkan pasal 31E dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
a.
Jika
peredaran bruto sampai dengan RP. 4.800.000.00, maka penghitungan PPh terutang
yaitu sebagai berikut
PPH terutang =50% X 28% X
seluruh pehasilan kena pajak
B. jika peredaran bruto lebih
dari Rp. 4.800.000.000 sampai dengan Rp. 50.000.000.000, perhitungan PPH
terutang yaitu sebgai berikut :
PPH
terutang= (50% X 28% ) X penghasilan kena pajak dari peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas + 28% X penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto
yang tidak memperoleh fasilitas.
3.8 Tata Cara Penyetoran, Perhitungan dan Pelaporan
pph
1. Tatacara
Penyetoran PPh Pasal 23
Berdasarkan
ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1
April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Dalam
hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari
libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran
pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari libur
nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum
yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Pembayaran
dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
SSP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh
pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan
validasi. SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi
Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau bank
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak.
2.
Tatacara Pelaporan PPh Pasal 23
Pemotong
PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang
pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan.
Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan
PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT
Tahunannya.
Apabila
masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan
yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.
Surat
Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20 (dua
puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23
bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat
tanggal 20 Nopember 2010.
Dalam
hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk
penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama
secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
bermanfaat untuk saya.. kunjungi juga ya
BalasHapusPendidikan Kewarganegaraan Membangun Karakter Bangsa