I.
TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN
Keberatan adalah cara yang
ditempuh oleh wajib Pajak jika merasa tidak/kurang puas atas suatu ketetapan
pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak
ketiga.
Dalam pelaksanaan ketentua
peraturan perundang-undangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak
(WP) merasa kurang/ tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan
kepadanya atau atas pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini WP
dapat mengajukan keberatan.
Hal-hal yang Dapat
Diajukan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas:
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
- Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
- Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
- Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga
Ketentuan Pengajuan
Keberatan
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) di tempat WP terdaftar, dengan syarat:
- Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
- Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan WP dan disertai alasan-alasan yang jelas.
- Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis pajak dan satu tahun/ masa pajak.
Pengajuan keberatan tidak
menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak dan keberatan
yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak
diproses.
Mulai 1 Januari 2008 dalam hal Wajib Pajak
mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi
pajak yang harus dibayar paling sedikit sejumlah yang disetujui
Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan,
sebelum surat keberatan disampaikan.
#Jangka Waktu Pengajuan
Keberatan
Keberatan harus diajukan dalam Jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal
dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga.
- Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
Untuk
surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos tercatat),
jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau
sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal
tanda bukti pengiriman melalui Kantor Pos dan Giro.
Jika lewat tiga bulan, surat
keberatan tidak dianggap karena tidak memenuhi syarat formal.Tetapi juga
membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan jika “dalam keadaan diluar
kekuasaannya.” Inilah klausul yang sering dimanfaatkan oleh Wajib
Pajak.Pengajuan Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.
Penyelesaian Keberatan
Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu paling lama 12 (dua betas) bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila
dalam jangka waktu 12 (dua belas ) telah lewat dan Direktorat Jenderal Pajak
tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap
diterima. Keputusan keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian,
menolak atau menambah besarnya jumlah pajak terhutang.
Permintaan
Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
- Untuk keperluan pengajuan keberatan WP dapat meminta penjelasan/ keterangan tambahan dan Kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan.
- WP dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat keputusan keberatannya diterbitkan.
Surat Keputusan Keberatan
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan
atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau
pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
II. SANKSI
PERPAJAKAN
Pengetahuan tentang sanksi dalam
perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia memilih menerapkan self
assessment system dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak.
Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung
menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat menjalankannya dengan
baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi
peraturan maupun teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat tertib dan
sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu
yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak
memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika kewaiiban perpajakan tidak
dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi. Konsekuensi hukum
tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi
perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak
memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari
apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran
mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi
perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan
dan perihal pengenaannya.
Ada 2 macam Sanksi perpajakan,
1.
Sanksi Administrasi yang terdiri dari:
a.
Sanksi Adrninistrasi Berupa Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi
yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan. Terkait besarannya denda
dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase
dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari
jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi
denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai
sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja. Untuk
mengetahui lebih laniut, dalam tabel 1 dimuat
hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi administrasi berupa denda, bentuk
pengenaan denda, dan besarnya denda.
b.
Sanksi Aministrasi Berupa Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga
dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar.
Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai
dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima
dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam
menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang
pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga
dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung
secara tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal
Waiib Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang
terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga
tersebut dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi
Perbedaan lainnya dengan bunga
utang pada umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya
dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1
(satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian. Untuk mengetahui lebih
ielas mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi bunga dan penghitungan
besarnya bunga dalam pajak.
c.
Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi
sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh
wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang
harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya
dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang
dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan
biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang
dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang. Untuk lebih jelasnya,
hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi berupa kenaikan.
2.
Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah
sanksi pidana dalam peradilan umum. Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi
pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana
merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Namun, pemerintah masih memberikan
keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak
yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi
pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah
tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau
tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena
adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di
bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak
sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak
kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut
setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu ini dihitung
sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun
pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu
10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen
perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu
selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia,
ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP
sebagai hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga
diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi
administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada.
III.
Banding
SK Keberatan tidak dapat menjadi Wajib Pajak puas.
Masih ada satu kesempatan lagi bagi Wajib Pajak untuk menguji pendapatnya,
yaitu melalui proses banding ke Pengadilan Pajak.
Tata Cara Pengajuan
Permohonan Banding
Apabila WP tidak atau belum puas dengan keputusan
yang diberikan atas keberatan, WP dapat mengajukan banding kepada Pengadilan
Pajak, dengan syarat:
- Tertulis dalam bahasa Indonesia,
- Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan diterima.
- Alasan yang jelas.
- Dilampiri salinan Surat Keputusan atas keberatan.
- Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding,
- Jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%.
Pengajuan permohonan banding tidak menunda
kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Putusan Pengadilan
Pajak bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.
Imbalan Bunga
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding
diterima sebagian atau seluruhnya, sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud
dalam SKPKB dan SKPKBT telah dibayar yang menyebabkan kelebihan pembayaran
pajak, maka kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan
bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak tanggal pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding.
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dapat mengajukan
gugatan kepada PP terhadap :
- Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
- Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 UU KUP;
- Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP yang berkaitan dengan STP;
- Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan STP;
Jangka Waktu Pengajuan
Gugatan
- Gugatan terhadap angka 1 diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
- Gugatan terhadap angka 2, 3, dan 4 diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
Peninjauan Kembali
Apabila pihak yang bersangkutan tidak/belum puas
dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya
dapat diajukan satu kali
Alasan-alasan Peninjauan
Kembali
- Putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat;
- Terdapat bukti tertulis baru penting dan bersifat menentukan;
- Dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut.
- Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
- Putusan nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Jangka Waktu Peninjauan
Kembali
- Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2 diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau ditemukan bukti tertulis baru;
- Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, 4, dan 5 diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh Pengadilan Pajak.
Putusan Banding
Putusan Banding adalah surat terbanding kepada Pengadilan Pajak yang berisi
jawaban atas alasan banding yang diajukan oleh pemohon banding.Putusan Banding
merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, serta bukan
Keputusan Tata Usaha Negara Dalam sejarah banding, jika dibuatkan prosentase
Putusan Banding, maka sebagian besar Putusan Banding berpihak ke Wajib Pajak.
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan, untuk selama-lamanya 24 bulan.
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan, untuk selama-lamanya 24 bulan.
PROSEDUR
PENYELESAIAN PERKARA BANDING
1.
Berkas perkara banding dicatat dan diberi nomor register;
2.
Ketua pengadilan tinggi agama/mahkamah syar’iah provinsi membuat Penetapan Majelis Hakim yang akan memeriksa berkas;
3.
Panitera menetapkan panitera pengganti yang akan membantu majelis;
4.
Panitera pengganti menyerahkan berkas kepada ketua majelis;
5.
Panitera pengganti mendistribusikan berkas perkara ke Majelis Hakim Tinggi;
6.
Majelis Hakim Tinggi memutus perkara banding;
7.
Salinan putusan dikirimkan kepada kedua belah pihak melalui pengadilan tingkat pertama.
Prosedur
dan Proses Penyelesaian Perkara Banding
PROSEDUR
:
Langkah-langkah yang harus
dilakukan Pemohon banding :
1. Permohonan banding harus
disampaikan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan
agama/mahkamah syar'iyah dalam tenggang waktu :
a. 14 (empat
belas) hari, terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengucapan
putusan, pengumuman/pemberitahuan putusan kepada
yang berkepentingan;
b. 30 (tiga
puluh) hari bagi Pemohon yang tidak bertempat di kediaman di wilayah
hukum pengadilan agama/mahkamah syar'iyah
yang memutus perkara tingkat pertama (Pasal
7 UU No 20 Tahun l947).
2. Membayar biaya perkara banding
(Pasal 7 UU No 20 Tahun 1947, Pasal 89 UU No 7 Tahun 1989).
3. Panitera memberitahukan adanya
permohonan banding (Pasal 7 UU No 20 Tahun 1947).
4. Pemohon banding dapat
mengajukan memori banding dan Termohon banding dapat
mengajukan kontra memori banding (Pasal 11 ayat (3) UU
No 20 Tahun 1947)
5. Selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari setelah permohonan diberitahukan kepada
pihak lawan, Panitera memberi kesempatan kepada kedua
belah pihak untuk melihat surat-surat berkas perkara di
kantor pengadilan agama/mahkamah syar'iyah (Pasal 11 ayat(1)
UU No 20 Tahun 1944).
6. Berkas perkara banding dikirim
ke pengadilan tinggi agama,/mahkamah syar'iyah provinsi oleh
pengadilan agama/mahkamah syar'iyah selambat-lambatnya dalam waktu
1 (satu) bulan sejak diterima perkara banding.
7. Salinan putusan banding
dikirim oleh pengadilan tinggi agama/mahkamah syar'iyah
provinsi ke pengadilan agama/mahkamah syar'iyah yang
memeriksa perkara pada tingkat pertama untuk disampaikan
kepada para pihak.
8. Pengadilan agama/hahkamah
syar'iyah menyampaikan salinan putusan kepada para
pihak.
9. Setelah putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap maka Panitera:
a Untuk perkara
cerai talak :
1)
Memberitahukan tentang Penetapan Hari Sidang penyaksian ikrar talak dengan
memanggil Pemohon dan Termohon;
2)
Memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam
waktu 7 (tujuh) hari.
b Untuk
perkara cerai gugat:
Memberikan
Akta Cerai sebagai surat bukti cerai selambat-lambatnya dalam waktu
7 (tujuh) hari.
PROSES
PENYELESAIAN PERKARA :
1. Berkas perkara banding dicatat dan diberi nomor
register.
2. Ketua pengadilan tinggi agama/mahkamah syar'iyah
provinsi membuat Penetapan Majelis Hakim yang akan
memeriksa berkas.
3. Panitera menetapkan panitera pengganti yang akan
membantu majelis.
4. Panitera pengganti menyerahkan berkas kepada
ketua majelis.
5. Panitera pengganti mendistribusikan berkas
perkara ke Majelis Hakim Tinggi.
6. Majelis Hakim Tinggi memutus perkara banding.
7. Salinan putusan dikirimkan kepada kedua belah
pihak melalui pengadilan tingkat pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar